Kapal yang Hanya Memiliki Surat Izin Berlayar Ditangkap

SPB Resahkan Pelaut
Kapal yang Hanya Memiliki Surat Izin Berlayar Ditangkap

Medan, Kompas - Para pelaut dan pemilik kapal di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, mengeluhkan kewajiban memiliki surat izin baru pelayaran karena ada dualisme kewenangan. Dualisme tersebut membuat para pelaut dan pemilik kapal di Sumatera Utara bingung.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB) RB Sihombing menjelaskan, pada Januari 2010 sudah ada keputusan bahwa kapal yang hendak melaut cukup mengantongi surat izin berlayar (SIB) dari Kesyahbandaran Perikanan Belawan (KPB). KPB bernaung di bawah Kementerian Perikanan.

Akan tetapi, sejak 11 Februari 2010 muncul kebijakan baru yang mewajibkan kapal yang hendak berlayar harus memiliki surat persetujuan berlayar (SPB). SPB tersebut diterbitkan oleh Kesyahbandaran Kantor Administratur Pelabuhan (Adpel) Utama Belawan yang di bawah naungan Kementerian Perhubungan.

”Berarti kami harus bolak-balik mengurus surat izin. Di samping itu, terjadi dualisme antara Kementerian Perikanan dan Kementerian Perhubungan dalam SPB itu,” ujarnya saat ditemui di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Kamis (25/3).

Dalam surat edarannya, Kantor Adpel Utama Belawan menegaskan bahwa SPB tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 219. Kapal yang tidak memiliki SPB dapat dikenai sanksi.

”Hal itulah yang meresahkan para pelaut dan pemilik kapal,” kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Medan Pendi Pohan.

Dicegat
Keresahan itu makin menjadi ketika Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) mencegat dan menangkap puluhan kapal yang hanya mengantongi SIB. Para nakhoda kapal diminta kembali ke pangkalan, sementara SIB mereka disita.

Petugas KPLP lantas meminta para nakhoda untuk mengurus SPB karena itu surat izin yang sah.

Meskipun mereka akhirnya dilepaskan, sebagian besar tidak berani kembali melaut karena takut ditangkap lagi lantaran tidak memiliki surat izin dari Adpel Belawan.

”Kalau hal ini dibiarkan, para nelayan tidak bisa makan, pengusahanya pun merugi,” papar Sihombing.

Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Asifus Zahid dalam surat edarannya menegaskan, SIB merupakan surat izin yang sah.

”Kejadian tersebut membuat kalangan pengusaha perikanan resah. Kami berharap hal itu bisa diselesaikan di tingkat kementerian,” papar Asifus.

Pernah terjadi
Kejadian serupa pernah terjadi tahun 2007. Namun, akhirnya hal itu dapat diselesaikan, antara lain karena peran Gubernur Sumatera Utara yang saat itu dijabat Rudolf M Pardede.

”Sepertinya harus ada kebijakan seperti itu lagi,” papar Pendi.

Pendi mengatakan, di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan setidaknya terdapat 4.000 nelayan dan sekitar 400 kapal. Jika pergantian izin itu dipaksakan, hal itu akan banyak nelayan yang terancam tidak melaut karena menunggu pengurusan SPB. (MHF)

Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/26/ 02365353/ spb.resahkan. pelau

Keselamatan di industri penangkapan ikan

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan sekitar 24,000 kecelakaan fatal yg mengakibatkan tewasnya pekerja telah terjadi setiap tahun di sektor industri penangkapan ikan diseluruh dunia.
Entah berapa yg terjadi di Indonesia, namun melihat kondisi kapal2 penangkap ikan yg beroperasi di Indonesia serta lemah atau tidak akuratnya data di Indonesia, tidak dapat dipungkiri angkanya bisa jadi cukup besar. Mengingat kalau melihat armada penangkap ikan di Indonesia boleh dibilang sebagian besar tidak memenuhi kelayakan untuk berlayar, apalagi kalau menerapkan standard2 keselamatan yg paling baru.
Sebuah penelitian yg dilakukan oleh Dr. Stephen Roberts dari Swansea University, menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap ternyata beberapa kali lebih berbahaya ketimbang industri2 lain.
Di Inggris pada kurun waktu 1996 sampai 2005 angka kecelakaan pada industri perikanan 115 kali lebih tinggi ketimbang industri lain secara umum.

Dari temuan2 tersebut beberapa langkah telah diambil; misalnya saja;
• Mewajibkan kapal2 yg berukuran panjang kurang dari 15m memiliki EPIRBS (emergency position-indicating radio beacons).
• Memastikan bahwa pelatihan2 wajib dipatuhi/dilaksanak an dg ketat dan benar.
• Melakukan pelatihan2 bagi nelayan2 yg mengoperasikan kapal2 ikan berukuran kurang dari 16 m.
• Menyetarakan/ mensinergikan berbagai macam peraturan2 untuk menjamin adanya standard keselamatan yg tinggi.

Itu rekomendasi2 yg diajukan di Inggris sana, bagaimana kondisi dilapangan di Indonesia?

Katakanlah ada panggilan darurat. Mayday, mayday dari sebuah kapal ikan di perairan zona ekonomi 200 mil di selatan pulau Jawa....kira2 ada yg mendengar, memantau atau menanggapi apa enggak ya??

Kira2 itulah kekhawatiran saya saat berada di zona ekonomi ekslufif 200 mil dari tahun 1978-1985...
Kalaupun ada yg menanggapi bisa perlu waktu 20 jam untuk mencapai titik keberadaan kapal yg perlu pertolongan kalau pakai kapal laut. Berharap ada pesawat terbang ????

Mungkin ada teman2 yg punya pengalaman.

Salam
Kukuh